Aku mengganti-ganti channel televisi mencari acara yang menarik
untuk ditonton. sekilas aku menghentikan kegiatanku itu saat mataku tertuju
pada berita yang ada di tv. Berita mengenai pencurian perhiasan saat pameran High Jewelry Collection kemarin.
Ternyata ada dua buah perhiasan yang hilang saat acara lelang akan dimulai. Amethys Lazulli dan Eye Of Mermaid. Dua perhiasan yang di desain secara khusus oleh
seorang perancang perhiasan terkenal dari Italia. Dan bila dijual harganya bisa
mencapai ratusan juta atau bahkan hampir mencapai milyaran.
Saat ini kasus tersebut sedang ditangani polisi, namun polisi juga
belum menemukan titik terang tentang siapa yang mencuri kedua perhiasan itu.
Aku berjalan
menghampiri Ibu yang tengah sibuk sendiri—memandangi kalung Blue Saphire yang dibelinya kemarin saat
pameran tersebut. Wajah Mama semakin berseri-seri.
"Na Rin... Coba
kau lihat Blue Saphire ini.
Benar-benar indah. Tapi kalau saja Amethys
Lazulli dan Eye Of Mermaid tidak
hilang, pasti Ibu akan memilikinya."
"Blue Saphire ini juga indah. Tidak ada
bedanya dengan Amethys Lazulli
ataupun Eye Of Mermaid. Jangan
terlalu berlebihan, Bu."
"Hah.. Kau
ini !? Coba kau lihat.. bila Blue Saphire
ini dipakai olehmu pasti kau akan semakin terlihat cantik."
"Ibu saja
yang pakai. Aku tidak tertarik."
"Kau ini
aneh sekali. Setiap wanita pasti menyukai perhiasan. Kenapa kau tidak ?"
Aku terdiam. Aku
juga tidak tahu, bahkan sama sekali tidak mengerti pada diriku sendiri.
Malam semakin
larut. Namun entah kenapa aku sama sekali tidak bisa memejamkan mataku. Rasanya
aku benar-benar tidak mengantuk. Aku-pun keluar dari kamarku dan berjalan
menuju koridor rumahku—menyusuri setiap ruangan yang ada, hanya untuk mencari
seseorang yang bisa aku ajak bicara walau hanya semenit saja.
Namun tiba-tiba
jantungku hampir melompat keluar dan nyawaku nyaris melayang—saat Hop...!?
Dalam sekejap wajah seseorang yang tak asing lagi mendadak muncul dihadapanku
seketika itu dari salah satu jendela rumah yang terbuka.
"Kita
bertemu lagi."
"Kau lagi...
!" kelopak mataku mulai melebar.
"Hah... Aku
pikir rencanaku kali ini akan berjalan lancar. Tapi kenapa aku harus bertemu
denganmu lagi." Katanya kembali.
"Seharusnya
aku yang bilang begitu. Kenapa aku harus bertemu denganmu lagi sih?"
sahutku setengah sewot.
"Yach
sudahlah. Sebaiknya kau kembali saja kekamarmu. Tidur sana, sudah malam."
kata orang itu dengan santainya.
"Memangnya
kau pikir.. kau ini siapa ? Dan mau apa kau dirumahku ?"
"Menurutmu—aku…
mau apa… ?" tanya orang itu lagi, seraya maju selangkah sambil menatapku
dengan sorotan matanya yang tajam—membuat kakiku spontan mundur perlahan. Tapi
orang itu terus menatapku sampai-sampai tanpa sadar aku sudah terpojok di
dinding dan kemudian bersandar.
Kedua telapak tangannya yang kekar disandarkan di dinding, tepat
disebelah kedua pipiku. Dan beberapa saat kemudian... Tiba-tiba orang itu
kembali tertawa. Kali ini dia terbahak-bahak.
Aku menghela
napasku. "Kau sudah gila yach? Apanya lucu?" Tanyaku kesal.
"Coba tadi
kau lihat wajahmu sendiri— benar-benar lucu." Jawab orang itu sembari
mencoba menahan tawanya.
"Kau pikir
aku badut. Menyebalkan...." suaraku naik tiga oktaf.
Orang itu segera
menempelkan jari telunjuk kanannya ke bibirku. "Shuttt... suaramu bisa
membuat orang-orang dirumah ini terbangun."
"Mungkin
sebaiknya kau pergi, sebelum aku benar-benar membangunkan mereka semua."
"Tanpa kau
suruh-pun aku akan pergi. Sampai bertemu lagi."
Dan Cup... sebuah
kecupan manis diberikannya dikeningku. Kali ini aku merasa kaki-ku kaku dan
terasa lemas tanpa bisa berkata apapun.
@@@ @@@
Pagi ini cuaca
lumayan cerah. Matahari begitu hangat. Aku menghirup setiap udara yang melewati
setiap celah dikamarku. Entah kenapa perasaanku begitu senang hari ini,
sehingga aku jadi begitu bersemangat. Sekilas aku jadi teringat dengan kejadian
kemarin malam, bertemu dengan orang aneh itu dirumahku sendiri. Dan seharusnya
saat itu juga, aku berteriak agar semua orang dirumah ini terbangun dan
menangkap si-penyusup itu.
Ach… tapi kenapa aku tidak melakukan apa-apa ? Bahkan aku diam
saja saat dia mencium keningku. Bagaimana bisa ? Bodohnya aku !!! teriakku
dalam hati sambil menyingkirkan bayangan hari sialku itu.
Aku melangkahkan
kaki-ku menuju ruang makan untuk menyapa kedua orangtuaku yang mungkin sudah
menungguku untuk sarapan pagi atau mungkin mereka berdua sudah pergi dan sibuk
dengan urusan masing-masing. Aku mulai menebak-nebak dalam hati sembari
berharap bahwa Ayah dan Ibu mungkin sedang menantiku untuk sarapan pagi bersama,
hal yang jarang kami lakukan sebagai keluarga yang tersisa dirumah ini.
Namun sesaat aku menghentikan langkah kakiku saat melihat beberapa
orang nampak memeriksa sesuatu di setiap sudut rumahku. Ayah dan Ibu ada disana
bersama mereka. Sejenak aku mulai tahu bahwa orang-orang itu adalah para
polisi. Aku jadi penasaran.
“Selamat pagi
Nona. Maaf sudah mengganggumu pagi-pagi begini. Ada beberapa hal yang ingin
kami tanyakan.” Seseorang menghampiriku.
Aku nampak
bingung. Jantungku perlahan berdegup. “Ada apa ?”
“Apa kemarin
malam kau melihat sesuatu yang mencurigakan?” Tanya orang itu lagi.
Aku menggelengkan
kepala.
“Apa kau yakin ?”
Orang itu seakan meragukan pernyataanku.
“Ya.. aku yakin.”
Jawabku singkat. “Ada apa sebenarnya?” Kedua mataku tertuju pada Ibu-ku yang
tertunduk lesu—sembari menangis sesengukan.
“Blue Saphire-ku hilang.” Jawab Ibu
pelan.
“Sepertinya
pencuri itu sangat ahli dalam hal ini, bahkan terkesan sangat rapi sekali dalam
bekerja. Tidak ada satupun sidik jari yang tertinggal disekitar TKP atau
hal-hal mencurigakan sedikitpun.” Sahut seseorang yang akhirnya ku-tahu dengan panggilan
Komisaris oleh temannya itu.
Aku terdiam
sesaat. Aku mulai menebak-nebak… Pasti dia yang mencuri Blue Saphire milik Ibu-ku. Tapi aku hanya meneriakkannya dalam
hati.
“Jangan khawatir
Nyonya Kim. Kami akan berusaha untuk segera menangkap pelakunya.” Kata Pak
Komisaris mencoba menyakinkan Ibu-ku.
@@@ @@@
Aku
mencoret-mencoret selembar kertas yang ada dihadapanku. Pikiranku melayang
entah kemana, bahkan aku sama sekali nggak mengerti dengan apa yang diterangkan
dosenku di depan kelas sana. Aku masih memikirkan masalah Blue Saphire yang
hilang itu. Aku memang yakin 100% bahwa orang itulah yang mencurinya. Tapi aku
tidak bisa mengatakan pada orang lain kalo memang tadi malam aku bertemu
dengannya. Ada apa denganku ? Aku bahkan tidak begitu peduli dengan hilangnya
perhiasan itu, berapa-pun mahal harganya. Sebaliknya aku malahan senang. Yach…
walaupun aku bisa merasakan akan ada hujan air mata dirumahku karenanya. Ibu…
pasti beliau bakalan menangis semalam suntuk meratapi. Sebegitu berharganya
sebuah benda mati itu baginya. Aku jadi penasaran seandainya aku yang hilang,
apakah Ibu akan melakukan hal yang sama ? Hah…. Aku menghela napas panjang.
“Hei… kau
baik-baik saja ?” Tanya Sun Mi dengan suara pelan, sahabatku yang kutemukan
saat di sekolah dasar dulu.
“Begitulah.”
“Aku dengar…
Ibumu baru kehilangan perhiasannya pagi ini ?”
Hah… berita itu
cepat sekali menyebarnya. Tentu saja karena Ibu-ku dan Ibunya Sun Mi adalah
teman arisan yang selalu berkumpul dan bertemu di sela-sela waktu mereka.
Aku mengangguk.
“Pasti sekarang
Bibi sedang sedih sekali. Sama seperti Ibuku kalo dia kehilangan sesuatu.”
“Sepertinya
begitu.” Jawabku lesu.
“Kau masih ingat
dengan pencurian yang terjadi pada saat acara premier High Jewelry Collection ? Aku yakin pasti dia orang yang sama.” Aku terdiam. Bingung harus menjawab apa ?!
Karena sepertinya aku sudah tahu dengan jawabannya.
“Pasti tadi pagi
beberapa polisi meminta keterangan darimu. Benarkan ?” lanjut Sun Mi lagi.
“Yach begitulah.”
“Pantas saja… Soalnya
sejak tadi wajahmu itu benar-benar pucat sekali seperti mayat hidup saja.” celetuk
Sun Mi kemudian.
Yach… aku memang
seperti mayat hidup saja hari ini sebab mereka tidak tahu bahwa aku telah
bertemu dengan pencuri itu sebelum perhiasan milik Ibu-ku itu menghilang.
Namun rasanya lidahku begitu kelu hingga aku tidak bisa mengatakan
hal yang sebenarnya pada mereka. Haruskah aku mengatakannya ?!
Seperti biasanya…
seorang supir menjemputku. Sama seperti teman-temanku yang lainnya, mereka
semua memang terlahir dari keluarga yang sama sepertiku. Bahkan mayoritas para
mahasiswa di Global University ini adalah anak-anak dari para pemilik
perusahaan terkenal dan yang akan mewarisinya pula. Dan jarang sekali di
antaranya yang hanya seorang anak dari keluarga biasa saja. Karena ditempat
ini, semuanya memang luar biasa.
Sepulang kuliah
aku jarang sekali bepergian kemana-mana. Sahabatku hanya Sun Mi yang paling
dekat denganku. Dan dia juga memiliki segudang aktivitas yang harus
dilakukannya. Sebagai puteri dari pemilik Mall terbesar, perlahan-lahan Sun Mi
harus belajar mengatur bisnis besar keluarganya itu. Mau tidak mau.. suka tidak
suka.. dia harus melakukannya. Sama sepertiku. Kami sama-sama hidup di sangkar
emas. Aku mulai teringat… waktu kecil dulu saat umur kami delapan tahun, aku
dan Sun Mi pernah sama-sama kabur dari rumah. Awalnya kami pikir kehidupan
diluar sana lebih menyenangkan daripada dirumah. Tapi kami salah… aku dan Sun Mi
pernah hampir terbunuh saat tanpa sadar kami bertemu dengan orang jahat disuatu
jalan. Dan hal itu-lah yang sampai sekarang tidak pernah bisa aku lupakan dalam
ingatanku yang seharusnya aku buang jauh-jauh dan karena itulah kedua
orangtuaku jadi over protective padaku. Ternyata seperti apapun bentuknya
sebuah rumah itu adalah satu-satunya tempat yang paling nyaman untuk berteduh.
“Selamat datang
Nona. Makannya sudah siap.” Kata seorang pelayan saat aku sampai dirumah.
“Nanti saja.”
Jawabku tanpa menghentikan langkahku.
Hingga aku sampai
di dalam kamarku.
“Kau kelihatan
tak bersemangat hari ini.” Suara seseorang mengagetkanku.
Kedua kelopak
mataku kembali melebar seketika.
“K… Kau..! Apa yang kau lakukan dikamarku ?” suaraku mulai naik
tiga oktaf sembari melempar sebuah bantal kearah sipemilik suara itu.
“Aduh ! Kenapa kau melempariku ?”
“Apa yang kau lakukan dikamarku ? Bagaimana kau bisa masuk kesini
? Hah… dasar kau ini penyusup kurang ajar…!” Sahutku sembari terus melemparinya
dengan apa saja yang ada dihadapanku.
Namun sayangnya orang itu terus menghindar, hingga beberapa detik
kemudian dia melompat kearahku dan kini dia berdiri tepat dihadapanku dan
membuatku kembali terpojok di dinding kamarku. Tapi jaraknya denganku kali ini sangat
dekat.
“Sekarang benda apa lagi yang ingin kau lempar kearahku.” Kata
orang itu sembari memegang tanganku dan menatapku.
Aku terdiam dan
langsung menundukkan wajahku.
Mata orang itu membuatku tak bisa bergerak.
“Kau takut aku
cium lagi ? Atau kau ingin aku mencium-mu lagi ?”
“Kau sudah gila
yach! Lepaskan tanganku.”
“Aku akan
melepaskannya asal kau berhenti melempari barang-barang itu kearahku. Setuju ?”
Aku menganggukan kepala
dan perlahan dia melepaskan genggaman tangannya. Aku menghela napas.
“Aku datang hanya
ingin mengucapkan terima kasih padamu.” Kata orang itu lagi.
“Untuk apa ?” Tanyaku
bingung.
“Karena kau tidak
mengatakan pada mereka tentang Blue
Saphire yang hilang itu. Sejujurnya aku jadi penasaran ?! Kenapa kau tidak
mengatakan yang sebenarnya pada Orangtua-mu, kalau malam itu kau melihatku.”
“Aku juga tidak
tau. Hah… sudahlah… aku terima ucapan terima kasihmu itu.”
Orang itu
tiba-tiba tersenyum. Senyum yang manis yang mengembang dikedua sudut bibirnya
yang terlihat berwarna jingga itu. Begitu mempesonanya apalagi saat sinar
matahari menyorot kearahnya. Dia ini
manusia atau bukan ?! gumamku dalam hati.
“Hey… kau
baik-baik saja ?”
Aku mengangguk
pelan. Dan segera menyingkirkan pikiran konyol yang sempat terlintas dalam
otakku.
Tok… tok.. tok..
suara ketukan terdengar dari balik daun pintu kamarku.
“Nona Na Rin… Saya
mengantarkan makanan anda.” Sahut seorang pelayan tiba-tiba dari balik pintu
kamar yang terkunci.
Aku mendadak panic,
disertai keringat dingin mulai kurasakan disekujur tubuhku. Apa yang harus
kulakukan ? Jangan sampai mereka tahu bahwa ada orang lain di dalam kamarku
saat ini.
Oh Tuhan…. Aku mulai lemas.
“Tenanglah… Jangan
panik. Aku akan pergi sekarang.” Kata orang itu dengan suara pelan.
“Tunggu dulu !”
Jawabku spontan. Ups… Apa yang barusan aku katakan ?
“Nona Na Rin…”
panggil pelayan itu lagi, menanti aku membukakan pintu kamar yang kukunci dari
dalam.
“Iya sebentar.”
Seruku.
Aku menarik napas panjang dan mencoba bersikap sewajarnya.
Orang itu bersembunyi dibalik pintu kamarku yang sekarang mulai kubuka.
Oh Tuhan…. Tolong aku ! gumamku lagi.
“Makan lha Nona..
Selagi sup-nya masih hangat.” Kata pelayan itu sembari meletakkan makanan di
atas meja bundar disudut kamarku.
Aku tersenyum, keringat
dingin mengalir deras di sela-sela kulitku.
“Kenapa
berantakan sekali ?” Pelayan itu segera mengambil beberapa barang yang
berjatuhan di lantai.
“Nanti aku saja
yang bereskan. Sudahlah kalian kembali bekerja saja. Terima kasih yach.”
Sela-ku kemudian.
“Ta.. Tapi Nona
?”
Aku menarik
tangan pelayan itu dan mengeluarkannya dari kamarku. Lalu aku menutup pintu
kamarku dan menguncinya rapat-rapat dari dalam. Aku-pun menghela napas lega.
Syukurlah.
Orang itu
mendadak tertawa lagi. “Coba kau lihat wajahmu dicermin, benar-benar lucu
sekali.”
“Ich… Jadi kau
pikir itu lucu yach !? Kenapa sih kau selalu saja tertawa saat melihatku ?
Tidak lucu !” Nada suaraku setengah sewot.
Orang itu
mendekatkan lagi langkahnya kearahku seraya menatapku. Ini-lah yang tidak aku
suka.
“Bagiku… kau
memang seperti badut.” Katanya lagi sembari menahan tawanya.
Kelopak mataku
spontan membesar. Dasar menyebalkan !!!
teriakku dalam hati.
“Sepertinya
makanan-makanan ini sudah disiapkan jauh-jauh hari untukmu. Silahkan makan—Nona
besar.” Kata orang itu kemudian sembari mengatur posisi tidurnya di sofa dekat
tempat tidurku.
Aku mengerucutkan bibir. “Kau belum jawab pertanyaanku ? bagaimana
bisa kau masuk kedalam kamarku ?”
“Lewat jendela.” Jawabnya santai.
“Tidak mungkin ! bagaimana bisa kau melewati para penjaga
dirumahku.”
Orang itu tersenyum simpul. “Mudah saja. Itu bukan hal yang sulit
untukku.”
Aku menggelengkan kepala tak percaya.
“Kamarmu ini nyaman sekali.” Katanya lagi namun sesaat kemudian
aku mendengar suara hembusan napas perlahan dari arah orang itu. Dia tertidur.
Aku terdiam. Dengan langkah berat aku mencoba untuk mendekati dan
melihatnya dari dekat. Rambutnya yang hitam terlihat bersinar saat matahari
sore menyinarinya dari sela-sela ventilasi kamarku. Sesaat dia nampak seperti
seorang pangeran yang pernah digambarkan oleh buku-buku dongengku waktu kecil
dulu. Aku tertegun sebentar, tetap terdiam— menatapnya.
Namun kemudian… aku segera menghapus semua bayangan konyol yang
tiba-tiba datang memenuhi pikiranku itu. Aku pasti sudah gila !!! kataku dalam
hati.
“Apa yang kau pikirkan ?” tanya orang itu tiba-tiba memegang
tanganku—menahan langkahku saat aku akan berpaling kearah lain.
Aku terkejut. Bingung harus menjawab apa ? Ternyata dia tidak
benar-benar tertidur. Aduhh….. bodohnya aku ! Seharusnya aku tau sejak tadi.
Dasar penipu.
“Tidak ada.” Jawabku sambil
menahan malu.
“Kau tidak pintar berbohong ? Kalau kau bilang begitu pasti ada
sesuatu yang sempat terlintas dipikiranmu tadi. Benar khan?”
Aku bahkan tidak berani melihat kearahnya. Hah… wajahku pasti
memerah seperti udang rebus sekarang. Malu sekali rasanya.
Tut.. Tut.. Tut.. Dering suara ponsel berbunyi. Sebuah pesan
singkat masuk di inbox ponsel orang itu. Dia-pun membacanya.
“Kita lanjutkan nanti. Aku harus pergi sekarang.” Katanya
kemudian.
“Sekarang ?”
Orang itu kembali tersenyum—melihat ke arahku. “Kau mau aku tetap
disini ?”
“Siapa bilang !? Memang seharusnya kau sudah pergi sejak tadi.”
Senyum itu masih mengembang di kedua sudut bibirnya. “Sampai jumpa
Nona Besar.” Dia melangkahkan kakinya menuju jendela kamarku yang sedikit
terbuka itu.
“Tunggu !” Sela-ku menahan langkah kakinya sesaat.
Dia berpaling kembali kearahku, menungguku mengatakan sesuatu
padanya.
“Kau tahu namaku. Tapi… aku tidak tahu namamu.”
“Ryo Shin. Itulah namaku.” Jawabnya kemudian dan dalam sekejap dia
sudah pergi melalui jendela itu. Lalu angin berhembus memasuki ruangan kamarku—dingin
serasa menusuk kulit.