Thief of Hearts - 1 -

Malam ini cuaca kelihatan sangat cerah. Secerah senyuman Ayah dan Ibu yang mengembang dikedua sudut bibir mereka. Bisa kupastikan bahwa Ibu-ku benar-benar menunggu hari ini, memenuhi undangan untuk datang ke premier High Jewelry Collection—sebuah pameran perhiasan kelas dunia yang akan dihadiri oleh orang-orang terkenal yang terdapat didalamnya. Semua perhiasan-perhiasan yang akan dipamerkan itu dibandrol dengan harga yang sangat mahal, dan setiap perhiasan tersebut hanya dibuat satu saja diseluruh dunia. Oleh sebab itu, dari para petinggi negara, para pengusaha, ataupun artis sangat menginginkan pameran ini berlangsung.
Bisa dibilang mereka semua adalah Jewelry Freaks. Bosan !!! Itu yang bisa aku katakan setiap kali orangtua-ku mengajakku datang ke acara seperti ini. Aku sama sekali tidak tertarik dengan perhiasan-perhiasan itu, walaupun batu permata atau berlian-nya terlihat begitu mengkilat. Tapi aku tidak pernah tergoda untuk memilikinya. Lain halnya dengan Ibuku—Beliau telah terbiasa hidup dengan kemewahan dan sebelum menikah dengan Ayah, Ibu-ku adalah seorang wanita karir dan sekarang-pun tetap sama.
Sedangkan Ayahku adalah business-man dengan posisi presiden direktur di perusahan keluarga. Kedua orangtuaku telah dilahirkan dengan bergelimang harta dan tidak pernah merasa kekurangan sesuatu apapun. Makanya mereka sudah terbiasa dengan hal-hal yang berbau sangat mahal, elegan atau semacamnya.
Tapi entah kenapa aku berbeda dengan mereka?! Walaupun sejak kecil aku sudah mendapatkan segala macam kemewahan, dan semua fasilitas yang ada. Namun aku sama sekali tidak pernah puas dengan apa yang kudapatkan sekarang. Oleh karenanya aku selalu menganggap bahwa hidupku ini membosankan. Aku… anak ketiga dari tiga bersaudara, kedua kakakku perempuan dan mereka sudah menikah. Dan kini hanya aku saja yang masih tinggal dirumah, menemani kedua
orangtuaku itu.
Kakak pertamaku—Kim Soo Ki, menikah dengan anak pemilik AKA Group Company yang bergerak dibidang property. Pria itu merupakan pewaris perusahaan yang sedang majunya saat ini. Pernikahan itu-pun karena hasil perjodohan kedua orangtuaku. Kak Soo Ki kini tinggal di Prancis mengikuti sang suami yang bekerja disana.
Lalu.. Kakak keduaku—Kim Hyo Rim, kehidupannya bertolak belakang dengan kami. Dia lebih memilih untuk menikah dengan seorang pemuda biasa. Bisa dibilang kawin lari malah. Pernikahannya sama sekali tidak di setujui oleh Ayah dan Ibu. Bahkan Kak Hyo Rim sudah tidak dianggap sebagai anak lagi oleh mereka. Tapi karena dia kakakku, aku tetap memberikan dukungan sepenuhnya untuknya. Diam-diam aku datang ke pernikahan mereka walaupun kedua orangtuaku melarang dari jauh-jauh hari. Aku tidak peduli ! Hah… Aku menarik napas panjang. Rasanya aku ingin sekali bereinkarnasi kembali menjadi seseorang yang bukan diriku saat ini. Aneh bukan !? Yach… Itulah aku—Kim Na Rin, si-bungsu.
            "Na Rin.. !? Lihat… Blue Saphire ! Indah sekali bukan." kata Ibu dengan nada suara yang nyaris tak terdengar karena terkesima saat langkah kaki kami terhenti di depan sebuah kotak kaca.
            Aku tersenyum datar tanpa menanggapi pujian Ibu tentang perhiasan itu. Karena aku sedang serius berpikir, mencari cara bagaimana aku bisa keluar dari tempat membosankan ini. Rasanya aku butuh udara segar.
            "Ibu, aku ke toilet dulu yach. Sebentar aku kembali." kataku tiba-tiba padanya.
            Ibu mengacuhkan aku. Sinar matanya terlihat berbinar-binar tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari perhiasan itu. Aku memutar bola mataku dan berlalu pergi.
           
            Langkah kakiku terhenti setelah aku masuk kedalam Ladies Room. Aku menarik napas panjang seraya berdiri di depan wastafel sambil mencuci tanganku dan sesekali bercermin. Apa yang salah dengan diriku ? Kenapa semua keberuntungan ini terasa begitu hampa untukku ? Kenapa aku tidak bisa menikmatinya seperti orang-orang diluar sana? Hah… aku menghela napas panjang—mungkin karena ukuran otakku yang berbeda dengan orang normal, sehingga aku merasa mulai menjadi gila. Rasanya aku ingin berteriak sekeras-kerasnya dan bilang pada kedua orangtuaku kalau aku menginginkan kebebasan. Tapi tidak mungkin ! Aku bahkan tidak berani mengatakannya pada mereka tentang perasaanku. Sebab selama ini, baik aku, Ayah dan Ibu jarang bicara bersama-sama. Kami hanya bicara satu sama lain, jika ada hal yang penting saja. Dan jika tidak ada yang penting... kami hanya sibuk dengan urusan masing-masing. Yah begitulah—keluargaku.
            "Hah sial. Gedung semewah ini, tissue di toilet saja tidak ada. Menyebalkan !" gerutuku sendirian.
            Crakkk... Crakk.... Sebuah suara perlahan-lahan terdengar samar-samar ditelingaku. Aku menoleh kekanan dan kekiri, mencari asal suara itu. Namun sesaat kemudian suara itu menghilang.
            "Pasti suara cicak." tebakku dalam hati.
            Crakkk... suara itu kembali terdengar lagi. Namun Kali ini begitu jelas. Asal suara itu terdengar dari atas atap plafon, sehingga aku harus mendongakkan kepalaku untuk melihatnya. Dan dalam sekejap.............
Brukkkkk...... Seseorang muncul dari atap plafon Ladies Room ini.
Aku terkejut—nyaris pingsan, dan sampai-sampai tidak bisa mengeluarkan suaraku.
Orang itu tiba-tiba melihat kearahku. Sepertinya.. dia sama terkejutnya denganku. Namun wajahnya yang datar itu tiba-tiba berubah saat menatapku. Dalam hitungan detik—orang itu segera menutup mulutku dengan tangannya yang besar seraya mendorong tubuhku ke dinding.
            "Aku tidak akan menyakitimu, asal kau tidak berteriak." katanya kemudian.
            Aku menganggukkan kepala—pertanda mengerti. Perlahan-lahan dia melepaskan tangannya dariku.
            "Si... Siapa kau? Ke.. kenapa kau bisa masuk kesini ? Dari atas sana maksudku ?" suaraku terbata-bata dan terdengar kacau.
            Orang itu tersenyum. Dan kemudian tertawa kecil.
            "A... apanya yang lucu ?" tanyaku bingung.
            "Maaf Nona.. karena telah membuatmu kaget. Aku harus segera pergi sekarang." kata orang itu seraya berlalu dari hadapanku. Tapi kali ini, dia keluar melalui pintu.
Dasar orang aneh !!! Aku berteriak dalam hati—mengutuknya karena membuatku hampir pingsan karena ulahnya.

            Aku berjalan kembali menuju kerumunan orang-orang yang berada di auditorium—tempat pameran berlangsung. Kali ini... perhiasan-perhiasan mahal itu akan di pamerkan secara langsung oleh para model di atas catwalk. Dan acara ini merupakan penutup sekaligus lelang yang akan dimulai. Namun dalam beberapa saat—tiba-tiba suasana gelap menyelimuti seluruh sudut ruangan auditorium. Lampu yang tadi menyala terang benderang semuanya mendadak mati dalam sekejap, sehingga membuat orang-orang yang berada di dalamnya yang sebelumnya tenang kini mendadak bising. Aku segera mengambil ponsel yang ada didalam tas kecil yang aku bawa. Mencoba menelpon Ayah dan Ibu. Sial..... !!! Tidak ada sinyal.... Hah... bagaimana bisa aku menemukan mereka pada saat seperti ini. Aku bahkan tidak bisa melihat siapa saja orang-orang yang berada di dekatku saat ini. Keadaan mulai kacau.
Lalu beberapa lama kemudian, aku merasakan bahwa ada seseorang yang melewatiku dan tiba-tiba saja membopong tubuhku dibahunya. Spontan aku berontak sambil terus berteriak, namun karena suasana yang begitu bising di dalam sana—mengalahkan suaraku.

            "Lepaskan aku....!" kataku sambil terus berontak.
            Orang itu mengacuhkan aku, tetap berjalan dengan langkah cepat menuju pintu belakang ruang auditorium. Namun sesaat kemudian, dia-pun menurunkan aku dari bahunya saat kami benar-benar berada diluar ruangan.
            "Kau mau menculikku yach ?! Tolong........!" teriakku lagi.
            Orang itu mengambil sesuatu dari dalam saku celananya. Sebatang rokok yang kemudian dia nyalakan dengan pematik api miliknya. Tanpa penjelasan terlebih dahulu serta perasaan bersalah, orang itu menghisap rokoknya dengan santai. "Teriak saja sampai suaramu habis juga tidak akan ada orang yang mendengarmu."

            Rasanya aku ingin melemparnya dengan sepatu highheels-ku dan berlari menjauhinya, tapi tiba-tiba aku mulai terkesiap saat kedua mataku menatap tempat dimana aku berada saat ini.
Sebuah taman yang indah... dikelilingi bermacam-macam bunga yang menghiasinya, begitu harum. Bahkan dilihat saat malam-pun dan tanpa ada penerangan dari lampu dan hanya digantikan oleh cahaya bintang-bintang yang menyinari dari atas sana. Benar-benar indah. Udara malam yang segar... Aku menarik napas dalam-dalam mencoba menghirup harumnya bunga-bunga itu. Namun sesaat mataku kembali tertuju pada sesuatu. “Orang itu !!!” Teriak-ku dalam hati.
            "Kenapa kau membawaku ketempat ini? Kau mau apa ?" tanyaku penasaran dengan nada suara naik satu oktaf.
            "Bukankah kau butuh udara segar. Disinilah tempatnya."
            "Apa...!? Sebenarnya kau ini siapa sih? Kalau kau ingin menculikku, jangan membawaku ketempat ini."
            Orang itu kembali tersenyum namun kemudian dia tertawa geli.
            "A... apanya yang lucu?"
            "Jadi... kau benar-benar ingin diculik yach?" Tanya orang itu seraya memegang perutnya—menahan tawa.
            Entahlah sesaat tadi, aku mengatakan hal bodoh yang mengesankan kalimat “culiklah aku”. Issh.. ada yang salah dengan otakku. Sekarang aku benar-benar terlihat seperti badut.
            Aku berpikir mungkin lebih baik kalo aku memang benar-benar diculik. Setidaknya aku bisa keluar dari tempat membosankan ini. Hah... Pikiran yang lucu bukan ?! gumamku dalam hati.
"Kalau kau bukan penculik.. Lalu kau ini siapa ?"
            "Aku adalah aku ! Maaf... Tapi aku tidak suka mengambil sesuatu yang bisa merepotkanku nantinya."
            "Apa.....?! Dasar orang gila !" Kataku kesal mencoba mengatur napasku.
            Orang itu kembali tertawa.
            Tut... Tut... Tut... suara ponselku tiba-tiba berbunyi.
            "Selamat menghirup udara segar. Sampai bertemu kembali—Na Rin." Sahut orang itu saat aku mencoba menjawab panggilan telpon.
            Dalam hitungan detik orang itu-pun menghilang.

            Sejenak aku berpikir... Dia tahu namaku... Siapa dia ? Kenapa seakan-akan dia tahu apa yang aku pikirkan. Aku bahkan tidak sempat menanyakan namanya tadi.
            "Nona... anda baik-baik saja." seorang pengawal keluargaku tiba-tiba datang menghampiri.
            "aku baik-baik saja." jawabku datar—mengalihkan pandangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wanna Be My Friend