Thief of Hearts - 2 -

Aku mengganti-ganti channel televisi mencari acara yang menarik untuk ditonton. sekilas aku menghentikan kegiatanku itu saat mataku tertuju pada berita yang ada di tv. Berita mengenai pencurian perhiasan saat pameran High Jewelry Collection kemarin. Ternyata ada dua buah perhiasan yang hilang saat acara lelang akan dimulai. Amethys Lazulli dan Eye Of Mermaid. Dua perhiasan yang di desain secara khusus oleh seorang perancang perhiasan terkenal dari Italia. Dan bila dijual harganya bisa mencapai ratusan juta atau bahkan hampir mencapai milyaran.
Saat ini kasus tersebut sedang ditangani polisi, namun polisi juga belum menemukan titik terang tentang siapa yang mencuri kedua perhiasan itu.
            Aku berjalan menghampiri Ibu yang tengah sibuk sendiri—memandangi kalung Blue Saphire yang dibelinya kemarin saat pameran tersebut. Wajah Mama semakin berseri-seri.
            "Na Rin... Coba kau lihat Blue Saphire ini. Benar-benar indah. Tapi kalau saja Amethys Lazulli dan Eye Of Mermaid tidak hilang, pasti Ibu akan memilikinya."
            "Blue Saphire ini juga indah. Tidak ada bedanya dengan Amethys Lazulli ataupun Eye Of Mermaid. Jangan terlalu berlebihan, Bu."
            "Hah.. Kau ini !? Coba kau lihat.. bila Blue Saphire ini dipakai olehmu pasti kau akan semakin terlihat cantik."
            "Ibu saja yang pakai. Aku tidak tertarik."
            "Kau ini aneh sekali. Setiap wanita pasti menyukai perhiasan. Kenapa kau tidak ?"
            Aku terdiam. Aku juga tidak tahu, bahkan sama sekali tidak mengerti pada diriku sendiri.

            Malam semakin larut. Namun entah kenapa aku sama sekali tidak bisa memejamkan mataku. Rasanya aku benar-benar tidak mengantuk. Aku-pun keluar dari kamarku dan berjalan menuju koridor rumahku—menyusuri setiap ruangan yang ada, hanya untuk mencari seseorang yang bisa aku ajak bicara walau hanya semenit saja.
            Namun tiba-tiba jantungku hampir melompat keluar dan nyawaku nyaris melayang—saat Hop...!? Dalam sekejap wajah seseorang yang tak asing lagi mendadak muncul dihadapanku seketika itu dari salah satu jendela rumah yang terbuka.
            "Kita bertemu lagi."
            "Kau lagi... !" kelopak mataku mulai melebar.
            "Hah... Aku pikir rencanaku kali ini akan berjalan lancar. Tapi kenapa aku harus bertemu denganmu lagi." Katanya kembali.
            "Seharusnya aku yang bilang begitu. Kenapa aku harus bertemu denganmu lagi sih?" sahutku setengah sewot.
            "Yach sudahlah. Sebaiknya kau kembali saja kekamarmu. Tidur sana, sudah malam." kata orang itu dengan santainya.
            "Memangnya kau pikir.. kau ini siapa ? Dan mau apa kau dirumahku ?"
            "Menurutmu—aku… mau apa… ?" tanya orang itu lagi, seraya maju selangkah sambil menatapku dengan sorotan matanya yang tajam—membuat kakiku spontan mundur perlahan. Tapi orang itu terus menatapku sampai-sampai tanpa sadar aku sudah terpojok di dinding dan kemudian bersandar.
Kedua telapak tangannya yang kekar disandarkan di dinding, tepat disebelah kedua pipiku. Dan beberapa saat kemudian... Tiba-tiba orang itu kembali tertawa. Kali ini dia terbahak-bahak.
            Aku menghela napasku. "Kau sudah gila yach? Apanya lucu?" Tanyaku kesal.
            "Coba tadi kau lihat wajahmu sendiri— benar-benar lucu." Jawab orang itu sembari mencoba menahan tawanya.
            "Kau pikir aku badut. Menyebalkan...." suaraku naik tiga oktaf.
            Orang itu segera menempelkan jari telunjuk kanannya ke bibirku. "Shuttt... suaramu bisa membuat orang-orang dirumah ini terbangun."
            "Mungkin sebaiknya kau pergi, sebelum aku benar-benar membangunkan mereka semua."
            "Tanpa kau suruh-pun aku akan pergi. Sampai bertemu lagi."
            Dan Cup... sebuah kecupan manis diberikannya dikeningku. Kali ini aku merasa kaki-ku kaku dan terasa lemas tanpa bisa berkata apapun.

@@@  @@@

            Pagi ini cuaca lumayan cerah. Matahari begitu hangat. Aku menghirup setiap udara yang melewati setiap celah dikamarku. Entah kenapa perasaanku begitu senang hari ini, sehingga aku jadi begitu bersemangat. Sekilas aku jadi teringat dengan kejadian kemarin malam, bertemu dengan orang aneh itu dirumahku sendiri. Dan seharusnya saat itu juga, aku berteriak agar semua orang dirumah ini terbangun dan menangkap si-penyusup itu.

Ach… tapi kenapa aku tidak melakukan apa-apa ? Bahkan aku diam saja saat dia mencium keningku. Bagaimana bisa ? Bodohnya aku !!! teriakku dalam hati sambil menyingkirkan bayangan hari sialku itu.
            Aku melangkahkan kaki-ku menuju ruang makan untuk menyapa kedua orangtuaku yang mungkin sudah menungguku untuk sarapan pagi atau mungkin mereka berdua sudah pergi dan sibuk dengan urusan masing-masing. Aku mulai menebak-nebak dalam hati sembari berharap bahwa Ayah dan Ibu mungkin sedang menantiku untuk sarapan pagi bersama, hal yang jarang kami lakukan sebagai keluarga yang tersisa dirumah ini.
Namun sesaat aku menghentikan langkah kakiku saat melihat beberapa orang nampak memeriksa sesuatu di setiap sudut rumahku. Ayah dan Ibu ada disana bersama mereka. Sejenak aku mulai tahu bahwa orang-orang itu adalah para polisi. Aku jadi penasaran.
            “Selamat pagi Nona. Maaf sudah mengganggumu pagi-pagi begini. Ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan.” Seseorang menghampiriku.
            Aku nampak bingung. Jantungku perlahan berdegup. “Ada apa ?”
            “Apa kemarin malam kau melihat sesuatu yang mencurigakan?” Tanya orang itu lagi.
            Aku menggelengkan kepala.
            “Apa kau yakin ?” Orang itu seakan meragukan pernyataanku.
            “Ya.. aku yakin.” Jawabku singkat. “Ada apa sebenarnya?” Kedua mataku tertuju pada Ibu-ku yang tertunduk lesu—sembari menangis sesengukan.
            “Blue Saphire-ku hilang.” Jawab Ibu pelan.
            “Sepertinya pencuri itu sangat ahli dalam hal ini, bahkan terkesan sangat rapi sekali dalam bekerja. Tidak ada satupun sidik jari yang tertinggal disekitar TKP atau hal-hal mencurigakan sedikitpun.” Sahut seseorang yang akhirnya ku-tahu dengan panggilan Komisaris oleh temannya itu.
            Aku terdiam sesaat. Aku mulai menebak-nebak… Pasti dia yang mencuri Blue Saphire milik Ibu-ku. Tapi aku hanya meneriakkannya dalam hati.
            “Jangan khawatir Nyonya Kim. Kami akan berusaha untuk segera menangkap pelakunya.” Kata Pak Komisaris mencoba menyakinkan Ibu-ku.

@@@  @@@

            Aku mencoret-mencoret selembar kertas yang ada dihadapanku. Pikiranku melayang entah kemana, bahkan aku sama sekali nggak mengerti dengan apa yang diterangkan dosenku di depan kelas sana. Aku masih memikirkan masalah Blue Saphire yang hilang itu. Aku memang yakin 100% bahwa orang itulah yang mencurinya. Tapi aku tidak bisa mengatakan pada orang lain kalo memang tadi malam aku bertemu dengannya. Ada apa denganku ? Aku bahkan tidak begitu peduli dengan hilangnya perhiasan itu, berapa-pun mahal harganya. Sebaliknya aku malahan senang. Yach… walaupun aku bisa merasakan akan ada hujan air mata dirumahku karenanya. Ibu… pasti beliau bakalan menangis semalam suntuk meratapi. Sebegitu berharganya sebuah benda mati itu baginya. Aku jadi penasaran seandainya aku yang hilang, apakah Ibu akan melakukan hal yang sama ? Hah…. Aku menghela napas panjang.
            “Hei… kau baik-baik saja ?” Tanya Sun Mi dengan suara pelan, sahabatku yang kutemukan saat di sekolah dasar dulu.
            “Begitulah.”
            “Aku dengar… Ibumu baru kehilangan perhiasannya pagi ini ?”
            Hah… berita itu cepat sekali menyebarnya. Tentu saja karena Ibu-ku dan Ibunya Sun Mi adalah teman arisan yang selalu berkumpul dan bertemu di sela-sela waktu mereka.
            Aku mengangguk.
            “Pasti sekarang Bibi sedang sedih sekali. Sama seperti Ibuku kalo dia kehilangan sesuatu.”
            “Sepertinya begitu.” Jawabku lesu.
            “Kau masih ingat dengan pencurian yang terjadi pada saat acara premier High Jewelry Collection ? Aku yakin pasti dia orang yang sama.”  Aku terdiam. Bingung harus menjawab apa ?! Karena sepertinya aku sudah tahu dengan jawabannya.
            “Pasti tadi pagi beberapa polisi meminta keterangan darimu. Benarkan ?” lanjut Sun Mi lagi.
            “Yach begitulah.”
            “Pantas saja… Soalnya sejak tadi wajahmu itu benar-benar pucat sekali seperti mayat hidup saja.” celetuk Sun Mi kemudian.
            Yach… aku memang seperti mayat hidup saja hari ini sebab mereka tidak tahu bahwa aku telah bertemu dengan pencuri itu sebelum perhiasan milik Ibu-ku itu menghilang.
Namun rasanya lidahku begitu kelu hingga aku tidak bisa mengatakan hal yang sebenarnya pada mereka. Haruskah aku mengatakannya ?!
            Seperti biasanya… seorang supir menjemputku. Sama seperti teman-temanku yang lainnya, mereka semua memang terlahir dari keluarga yang sama sepertiku. Bahkan mayoritas para mahasiswa di Global University ini adalah anak-anak dari para pemilik perusahaan terkenal dan yang akan mewarisinya pula. Dan jarang sekali di antaranya yang hanya seorang anak dari keluarga biasa saja. Karena ditempat ini, semuanya memang luar biasa.
            Sepulang kuliah aku jarang sekali bepergian kemana-mana. Sahabatku hanya Sun Mi yang paling dekat denganku. Dan dia juga memiliki segudang aktivitas yang harus dilakukannya. Sebagai puteri dari pemilik Mall terbesar, perlahan-lahan Sun Mi harus belajar mengatur bisnis besar keluarganya itu. Mau tidak mau.. suka tidak suka.. dia harus melakukannya. Sama sepertiku. Kami sama-sama hidup di sangkar emas. Aku mulai teringat… waktu kecil dulu saat umur kami delapan tahun, aku dan Sun Mi pernah sama-sama kabur dari rumah. Awalnya kami pikir kehidupan diluar sana lebih menyenangkan daripada dirumah. Tapi kami salah… aku dan Sun Mi pernah hampir terbunuh saat tanpa sadar kami bertemu dengan orang jahat disuatu jalan. Dan hal itu-lah yang sampai sekarang tidak pernah bisa aku lupakan dalam ingatanku yang seharusnya aku buang jauh-jauh dan karena itulah kedua orangtuaku jadi over protective padaku. Ternyata seperti apapun bentuknya sebuah rumah itu adalah satu-satunya tempat yang paling nyaman untuk berteduh.

            “Selamat datang Nona. Makannya sudah siap.” Kata seorang pelayan saat aku sampai dirumah.
            “Nanti saja.” Jawabku tanpa menghentikan langkahku.
            Hingga aku sampai di dalam kamarku.
            “Kau kelihatan tak bersemangat hari ini.” Suara seseorang mengagetkanku.
            Kedua kelopak mataku kembali melebar seketika.  
“K… Kau..! Apa yang kau lakukan dikamarku ?” suaraku mulai naik tiga oktaf sembari melempar sebuah bantal kearah sipemilik suara itu.
“Aduh ! Kenapa kau melempariku ?”
“Apa yang kau lakukan dikamarku ? Bagaimana kau bisa masuk kesini ? Hah… dasar kau ini penyusup kurang ajar…!” Sahutku sembari terus melemparinya dengan apa saja yang ada dihadapanku.
Namun sayangnya orang itu terus menghindar, hingga beberapa detik kemudian dia melompat kearahku dan kini dia berdiri tepat dihadapanku dan membuatku kembali terpojok di dinding kamarku. Tapi jaraknya denganku kali ini sangat dekat.
“Sekarang benda apa lagi yang ingin kau lempar kearahku.” Kata orang itu sembari memegang tanganku dan menatapku.
            Aku terdiam dan langsung menundukkan wajahku.

Mata orang itu membuatku tak bisa bergerak.
            “Kau takut aku cium lagi ? Atau kau ingin aku mencium-mu lagi ?”
            “Kau sudah gila yach! Lepaskan tanganku.”
            “Aku akan melepaskannya asal kau berhenti melempari barang-barang itu kearahku. Setuju ?”
            Aku menganggukan kepala dan perlahan dia melepaskan genggaman tangannya. Aku menghela napas.
            “Aku datang hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu.” Kata orang itu lagi.
            “Untuk apa ?” Tanyaku bingung.
            “Karena kau tidak mengatakan pada mereka tentang Blue Saphire yang hilang itu. Sejujurnya aku jadi penasaran ?! Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya pada Orangtua-mu, kalau malam itu kau melihatku.”
            “Aku juga tidak tau. Hah… sudahlah… aku terima ucapan terima kasihmu itu.”
            Orang itu tiba-tiba tersenyum. Senyum yang manis yang mengembang dikedua sudut bibirnya yang terlihat berwarna jingga itu. Begitu mempesonanya apalagi saat sinar matahari menyorot kearahnya. Dia ini manusia atau bukan ?! gumamku dalam hati.
            “Hey… kau baik-baik saja ?”
            Aku mengangguk pelan. Dan segera menyingkirkan pikiran konyol yang sempat terlintas dalam otakku.
            Tok… tok.. tok.. suara ketukan terdengar dari balik daun pintu kamarku.
 “Nona Na Rin… Saya mengantarkan makanan anda.” Sahut seorang pelayan tiba-tiba dari balik pintu kamar yang terkunci.
            Aku mendadak panic, disertai keringat dingin mulai kurasakan disekujur tubuhku. Apa yang harus kulakukan ? Jangan sampai mereka tahu bahwa ada orang lain di dalam kamarku saat ini.
Oh Tuhan…. Aku mulai lemas.
            “Tenanglah… Jangan panik. Aku akan pergi sekarang.” Kata orang itu dengan suara pelan.
            “Tunggu dulu !” Jawabku spontan. Ups… Apa yang barusan aku katakan ?
            “Nona Na Rin…” panggil pelayan itu lagi, menanti aku membukakan pintu kamar yang kukunci dari dalam.
            “Iya sebentar.” Seruku.
Aku menarik napas panjang dan mencoba bersikap sewajarnya.
           

Orang itu bersembunyi dibalik pintu kamarku yang sekarang mulai kubuka.
Oh Tuhan…. Tolong aku ! gumamku lagi.
            “Makan lha Nona.. Selagi sup-nya masih hangat.” Kata pelayan itu sembari meletakkan makanan di atas meja bundar disudut kamarku.
            Aku tersenyum, keringat dingin mengalir deras di sela-sela kulitku.
            “Kenapa berantakan sekali ?” Pelayan itu segera mengambil beberapa barang yang berjatuhan di lantai.
            “Nanti aku saja yang bereskan. Sudahlah kalian kembali bekerja saja. Terima kasih yach.” Sela-ku kemudian.
            “Ta.. Tapi Nona ?”
            Aku menarik tangan pelayan itu dan mengeluarkannya dari kamarku. Lalu aku menutup pintu kamarku dan menguncinya rapat-rapat dari dalam. Aku-pun menghela napas lega. Syukurlah.
            Orang itu mendadak tertawa lagi. “Coba kau lihat wajahmu dicermin, benar-benar lucu sekali.”
            “Ich… Jadi kau pikir itu lucu yach !? Kenapa sih kau selalu saja tertawa saat melihatku ? Tidak lucu !” Nada suaraku setengah sewot.
            Orang itu mendekatkan lagi langkahnya kearahku seraya menatapku. Ini-lah yang tidak aku suka.
            “Bagiku… kau memang seperti badut.” Katanya lagi sembari menahan tawanya.
            Kelopak mataku spontan membesar. Dasar menyebalkan !!! teriakku dalam hati.
            “Sepertinya makanan-makanan ini sudah disiapkan jauh-jauh hari untukmu. Silahkan makan—Nona besar.” Kata orang itu kemudian sembari mengatur posisi tidurnya di sofa dekat tempat tidurku.
Aku mengerucutkan bibir. “Kau belum jawab pertanyaanku ? bagaimana bisa kau masuk kedalam kamarku ?”
“Lewat jendela.” Jawabnya santai.
“Tidak mungkin ! bagaimana bisa kau melewati para penjaga dirumahku.”
Orang itu tersenyum simpul. “Mudah saja. Itu bukan hal yang sulit untukku.”
Aku menggelengkan kepala tak percaya.
“Kamarmu ini nyaman sekali.” Katanya lagi namun sesaat kemudian aku mendengar suara hembusan napas perlahan dari arah orang itu. Dia tertidur.
Aku terdiam. Dengan langkah berat aku mencoba untuk mendekati dan melihatnya dari dekat. Rambutnya yang hitam terlihat bersinar saat matahari sore menyinarinya dari sela-sela ventilasi kamarku. Sesaat dia nampak seperti seorang pangeran yang pernah digambarkan oleh buku-buku dongengku waktu kecil dulu. Aku tertegun sebentar, tetap terdiam— menatapnya.
Namun kemudian… aku segera menghapus semua bayangan konyol yang tiba-tiba datang memenuhi pikiranku itu. Aku pasti sudah gila !!! kataku dalam hati.
“Apa yang kau pikirkan ?” tanya orang itu tiba-tiba memegang tanganku—menahan langkahku saat aku akan berpaling kearah lain.
Aku terkejut. Bingung harus menjawab apa ? Ternyata dia tidak benar-benar tertidur. Aduhh….. bodohnya aku ! Seharusnya aku tau sejak tadi. Dasar penipu.
“Tidak ada.” Jawabku sambil menahan malu.
“Kau tidak pintar berbohong ? Kalau kau bilang begitu pasti ada sesuatu yang sempat terlintas dipikiranmu tadi. Benar khan?”
Aku bahkan tidak berani melihat kearahnya. Hah… wajahku pasti memerah seperti udang rebus sekarang. Malu sekali rasanya.
Tut.. Tut.. Tut.. Dering suara ponsel berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk di inbox ponsel orang itu. Dia-pun membacanya.
“Kita lanjutkan nanti. Aku harus pergi sekarang.” Katanya kemudian.
“Sekarang ?”
Orang itu kembali tersenyum—melihat ke arahku. “Kau mau aku tetap disini ?”
“Siapa bilang !? Memang seharusnya kau sudah pergi sejak tadi.”
Senyum itu masih mengembang di kedua sudut bibirnya. “Sampai jumpa Nona Besar.” Dia melangkahkan kakinya menuju jendela kamarku yang sedikit terbuka itu.
“Tunggu !” Sela-ku menahan langkah kakinya sesaat.
Dia berpaling kembali kearahku, menungguku mengatakan sesuatu padanya.
“Kau tahu namaku. Tapi… aku tidak tahu namamu.”

“Ryo Shin. Itulah namaku.” Jawabnya kemudian dan dalam sekejap dia sudah pergi melalui jendela itu. Lalu angin berhembus memasuki ruangan kamarku—dingin serasa menusuk kulit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wanna Be My Friend